Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi. Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan, bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan.
Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung / Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) sudah menganut agama Islam. Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa dirugikan oleh hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah.
Karena itu keturunan para pengawal kerajaan Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun. Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nene moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan perkataan lain, meskipun setiap pengawal, misalnya “Kucieng Siam” memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknyapun jadi baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain, semuanya merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.
Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode bagi silat Minang, yaitu Langkah Tigo , Langkah Ampek , dan Langkah Sembilan. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.
Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga kepandaian batiniyah yang disebut gayueng, atau sering disebut dengan bacaan gayuang.
Berikut adalah jenis-jenis gayueng / gayuang silat Minangkabau :
1. Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan ibu jari kaki dengan tiga macam sasaran :
- Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
- Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
- Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran Sajangka dua jari.
2. Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut Gayueng dalam Tambo itu ialah gayueng jenis yang kedua, yaitu gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :
- Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat semacam paku dan jarum, pisau kecil.
- Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.
- Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali.
- Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka
Kepandaian silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat, terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah panaruhan atau simpanan. Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan. tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah silat Minangkabau : ”Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik..” diberikan kepada Sang Guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar